Menyikapi Feminisme Di Era Pasca Kartini

24 04 2008

Feminisme adalah sebuah paham yang menentang budaya maupun kebijakan politik yang tidak menguntungkan kaum perempuan. Paham ini lantas berkembang menjadi sebuah gerakan di negara-negara barat pada sekitar tahun 1970an. Pada masa itu, segelintir kaum perempuan yang diklaim sebagai feminis, berjuang untuk memperoleh hak-nya sebagai warga negara. Salah satu hal yang ditekankan dari gerakan feminis ini adalah perempuan ingin mendapatkan akses untuk pekerjaan yang layak, perempuan ingin mendapatkan akses pendidikan, dan perempuan ingin mendapatkan hak-nya untuk berpolitik. Singkatnya, perempuan menuntut hak yang sama dengan yang kaum laki-laki dapatkan. Perjuangan inipun terus berjalan, seiring dengan berkembangnya gerakan perempuan di berbagai negara, termasuk di negara-negara Asia.

Di Indonesia sendiri, paham feminisme berkembang cukup pesat. Lagi-lagi hanya segelintir perempuan yang melibatkan diri untuk menjadi bagian dari gerakan tersebut. Sehingga sering muncul pertanyaan: “Mengapa hanya segelintir perempuan saja yang feminis?” Lalu berkembang menjadi pertanyaan “Mengapa seorang perempuan bisa menjadi feminis?”. Pertanyaan ini akan dijawab sederhana saja. Tidak semua perempuan paham akan makna feminisme yang sesungguhnya. Pertama, karena perempuan masa kini tidak lahir di era dimana perempuan-perempuan benar-benar dijadikan mahluk subordinat di dalam kehidupan masyarakat. Perempuan kini tidak perlu merasakan apa yang dirasakan Kartini seperti ‘dipingit’, dirampas hak pendidikannya, walaupun sebagian kecil masih ada masyarakat yang menerapkan budaya ini. Kedua, perempuan yang kini mengklaim dirinya sebagai feminis lahir melalui sebuah kontemplasi pikiran perempuan dengan pengalaman. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh buku-buku studi literatur feminisme, dan juga buku-buku yang mengangkat pengalaman perempuan yang tertindas oleh budaya patriarki. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa kontemplasi pikiran dan pengalaman perempuan tidak menghasilkan suatu interpretasi yang sama. Sehingga, seringkali paham feminisme berkembang menjadi paham-paham yang lain seperti; feminisme radikal, feminisme Marxist, feminisme lesbian dan lain-lain.

Paham yang hanya dipahami segelintir perempuan ini tentu mengundang banyak kritik, tidak hanya dari kaum laki-laki saja tetapi juga dari sesama kaum perempuan. Feminisme seringkali dianggap sebagai paham yang justru melemahkan posisi perempuan, karena seolah-olah perempuan menuntut sesuatu yang ‘lebih’ dan ‘spesial’. Padahal, jika ditelusuri kembali pada akar tujuannya, gerakan feminisme menuntut equal right bukan special right. Pengkritik feminisme juga melontarkan kritik keras “Setelah emansipasi. Kini apalagi?”. Gerakan feminisme kini seringkali dipandang ‘keluar jalur’. Kebebasan feminis sudah kebablasan. Feminis menuntut hak untuk aborsi, hak untuk memiliki pasangan sesama jenis, dan lain sebagainya. Dan hal inilah yang juga membuat gap antara perempuan feminis dengan perempuan yang bukan feminis. Feminis yang semestinya menyentuh kaum perempuan, justru malah menjadi musuh untuk kaumnya sendiri. Gap ini juga terbentuk karena tidak adanya komunikasi yang terjalin dengan baik antara perempuan yang feminis dengan perempuan yang tidak feminis. Sehingga, seringkali pula sekelompok perempuan feminis dicap eksklusif dan hanya bisa bergaul dengan sesama teman kelompoknya.

Perlu kita sadari bahwa tidak semua perempuan memiliki pendapat yang sama tentang bagaimana kaumnya harus hidup di tengah masyarakat. Kini sebagian besar perempuan modern sudah dapat menikmati akses yang begitu luas dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan. Yang ratusan tahun diperjuangkan feminis, yaitu equal right sudah ada di tangan perempuan-perempuan modern. Lantas, yang menjadi permasalahan saat ini adalah, bagaimana hak yang sudah ada di tangan itu bisa dimanfaatkan secara maksimal? Peran pendidikan sangatlah penting. Perempuan kini dapat bersekolah hingga lulus sarjana maupun master. Tapi, pendidikan saja ternyata tidak cukup. Disini peran feminis pun dibutuhkan untuk menjadi motivator dan juga pendorong kaumnya. Feminis dibutuhkan untuk memberi pengarahan kepada perempuan, supaya perempuan mampu memaksimalkan ilmu yang dimilikinya, tidak hanya lantas ilmunya terbuang percuma. Dengan demikian, sedikit demi sedikit perempuan pun bisa mulai meningkatkan daya saingnya di era yang membutuhkan perempuan untuk lebih struggle daripada di era Kartini.

Di era Kartini perempuan berjuang untuk menghilangkan struktur sosial yang menempatkan perempuan pada posisi lebih bawah, dan berjuang demi mendapatkan haknya. Kini di era globalisasi, di satu sisi globalisasi ini membuka akses yang luas untuk perempuan dalam berbagai bidang. Di sisi lain, globalisasi memberikan beban yang lebih berat bagi perempuan karena perempuan harus mampu meningkatkan kualitas dirinya demi meningkatkan kualitas hidupnya. Beruntunglah perempuan-perempuan yang dapat menikmati pendidikan yang layak di perkotaan. Sedangkan, bagi perempuan menengah ke bawah, kebijakan neoliberalis mengharuskan perempuan untuk bekerja lebih keras. Pengurangan peran negara dan berkurangnya subsidi dari pemerintah untuk masyarakat menengah kebawah membuat kaum feminispun menentang kebijakan-kebijakan neolib. Lagi-lagi peran feminispun cukup penting di dalam memberikan masukan-masukan baik untuk pemerintah maupun untuk kaum perempuan sendiri.

Mengingat kembali quote yang ditulis Kartini untuk Nyonya Van Kool di bulan Agustus 1901, “Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya”. Pendidikan adalah kunci dari kesejahteraan perempuan Indonesia, dan feminisme dapat dijadikan sebagai alat pendukung perempuan Indonesia untuk maju demi kaumnya dan bangsanya.